Dari Redaksi

Diposting oleh alaikbuletin on 04.40

Salam............

Alhamdulillah, segala puji ke hadiraht Allah SWT atas rahmat dan karunia berupa iman, kesehatan dan semangat yang terus tumbuh dihati kita. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW.
Surabaya adalah salah satu saksi sejarah perjuangan para pahlawan untuk mencapai kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 18 agustus 1945. Kiai juga memiliki peran penting dalam mempertahankan eksistensi negara ini. Untuk itu, kami menyuguhkan artikel berjudul “Peran Strategis Politik Kiai di Hari Pahlawan”.

Dilanjutkan dengan opini tentang bayang-bayang hegemoni kota pahlawan yang mengingatkan kita bahwa perjuangan ini tidak boleh terhenti sampai disini. Masih banyak hal yang perlu kita perjuangkan untuk mempertahankan Negara tercinta ini.
Ada juga beberapa artikel, cerpen dan renungan yang ditulis oleh teman-teman anggota baru IJC. Adalah sebuah keniscayaan “Mati satu tumbuh seribu”. Selamat datang Generasi Baru Islamic Journalism Community (IJC). Semoga teman-teman anggota baru dapat melanjutkan perjuangan kita…
Tak lupa ucapan terima kasih kepada seluruh pembaca. Semoga Alaikbuletin ini menjadi simbol kebersamaan dan kemajuan bagi kampus tercinta. Saran dan kritik konstruktif selalu kita tunggu…!

Read More......

Gimana jadinya kalo PESMI pindah ya?

Diposting oleh alaikbuletin on 04.38

Gimana jadinya kalo PESMI pindah ya?

Pesantren Mahasisiwi alias PESMI sudah sangat melekat di hati para penghuninya. Terutama bagi mahasiswi semester V yang sudah dua tahun hidup di bawah atapnya. Sedangkan untuk mahasiswi semester III meski hanya dalam waktu satu tahun tinggal di dalamnya, itu cukup memberi makna. Sebenarnya bangunan Pesmi bukanlah bangunan yang tergolong mewah. Yang membuat para mahasantri berat untuk meninggalkannya adalah suasana yang tenang, sejuk serta jauh dari keramaian dan yang paling penting adalah dekat dengan kelas dan masjid. Jadi, kalau hujan maupun jam istirahat mereka tidak perlu terlantar. Karena lebih baik pulang ke asrama dengan menempuh beberapa langkah saja. Letak Pesmi yang cukup strategis sebagai wahana pembelajaran memberikan kontrol pribadi yang sangat bagus. Selain letaknya yang bersebelahan dengan gedung milik fakultas usuluddin dan syariah serta tarbiyah, keberadaan masjid ulul Albab juga menambah indah suasana. Pemandangan yang menyejukkan hati ketika para mahasantri berbondong-bondong pergi ke masjid saat adzan berkumandang dengan balutan mukena putih berkibaran tertiup angin, cermin seorang figur muslimah sejati.

Kehidupan antara satu anggota dengan anggota yang lainnya terjalin harmonis seperti sebuah keluarga. Memiliki ikatan batin yang tidak diragukan. Keceriaan, tawa dan gurauan mewarnai bangunan tua itu sebelum terdengar keputusan yang sangat berat untuk diterima namun itu harus dilaksanakan dan dipatuhi. Yaitu sebuah Surat keputusan bahwa Pesmi akan dibangun dan penghuninya akan dipindahkoskan. Seperti ada petir menyambar-nyambar dan kilat bergemuruh dalam hati kami. Ada rasa sedih dan takut kehilangan yang menyeruak luar biasa hebat. Beberapa waktu, tidak ada lagi canda dan tawa. Yang ada hanyalah bayang-bayang kenangan yang sebentar lagi akan menjadi puzzle.
Pada bulan Juli 2008, perstiwa menyedihkan itupun terjadi. Para petugas bangunan datang dan menyuruh kami segera mengeluarkan barang-barang karena waktuu telah habis. Karena ini bersamaan dengan pengambilan IP maka bagi mahasantri yang ingin menginap disediakan tempat yakni di gedung Transit Lantai II dan di Gedung Pembelajaran Lantai II. Tetapi itu hanya sementara karena pihak pesantren telah memilih tempat di empat lokasi yaitu Mojopahit, Masykuriah, rumah bapak Masrukhan dan di gang VIII. Apa yang dikhawatirkan ternyata terjadi. Mahasantri tidak ditempatkan dalam satu lokasi. Lantaran tidak adanya satu tempat yang mampu menampung seluruh mahasantri.
Mojopahit dijadikan sebagai sentral kegiatan pesantren. Mulai dari intelektual, bahasa, kesenian, koperasi dan departemen lainnya karena seluruh mahasantri baru ASPK dan THI ditempatkan disana. Ini juga merupakan salah satu upaya peningkata kualitas mahasantri agar pribadi sebagai seorang santri tidak hilang begitu saja terkikis pergaulan. Namun di sisi lain, antara satu tempat dengan tempat lainnya mengalami miss communication. Intensitas pertemuan yang kurang dirasa menjadi salah satu unsur merenggangnya hubungan kekeluargaan.
Peristiwa semacam ini sudah tentu memiliki hikmah tersendiri yang harus dicari supaya tidak menjadi hamba yang mengeluh. Bukankah bertemu dan berpisah adalah sunnatullah?. Andai itu ujian semoga Allah terangi jalan kesabaran. Amin

Read More......

I WANNA LOVE YOU CoZ OF HIM

Diposting oleh alaikbuletin on 04.37

I WANNA LOVE YOU CoZ OF HIM

Pagi ini terasa begitu indah. Tentunya dengan segala keajaibannya yang amat dahsyat. Tetesan embun di permukaan daun yang lambat laun membasahi tanah. Kicauan burung di ranting pepohonan terdengar merdu seakan mempersembahkan sebuah lagu kebahagiaan dan kegembiraan kepadaku yang sedang dirundung sejuta rasa bahagia. Sinar keemasan matahari merambat dengan pasti ke seluruh bagian muka bumi, bahkan sampai ke celah terkecil pun.
Memang sejak beberapa minggu yang lalu aku senantiasa memuji kebesaran ayat-ayat Allah yang ditunjukkan oleh-Nya di alam semesta ini. Untaian kalimat Hamdalah tak henti-hentinya mengalir dari kedua bibirku. Terutama hari ini. Hari di mana aku akan mengukir kenangan terindah dalam hidupku. Kedua mataku tak mampu lagi menahan butiran-butiran lembut yang membuat pipi terasa dingin. Aku sungguh terharu. Ingin rasanya aku bersujud di hadapan-Nya sepanjang hari ini.

"Ya Allah, betapa besar nikmat yang telah Kau berikan kepadaku. Sehinnga aku tak kuasa mengatakan apapun selain puji syukurku kapada-Mu. Ya Allah, berkahilah moment penting yang akan terjadi nanti. Amin."
Air mataku masih mengalir dan membanjiri pipiku ketika mobileku berdering.
"D', skrg Mas sdh smp d Rembang. Doakn Mas n klwrg spy slmt smp 7an. Sbr y. Mg nnti brjln lncr n pnuh berkah." Begitulah isi sms dari Mas Munib.

#######

Masih terbayang jelas di kedua pelupuk mataku kenangan masa-masa OSPEK empat tahun silam. OSPEK yang sangat mengesankan. Pahit manis kurasakan bersama teman-teman seangkatanku di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Ampel. Dari situlah aku mengenal sosok yang beberapa jam lagi akan menjadi prioritas utama dalam hidupku.
Di ujung acara penutupan OSPEK 2007, datang seorang lelaki menuju tempat dudukku. Dia adalah salah satu panitia defisi Protokoler. Sepertinya dia memang mencariku. Untuk apa aku tak tahu.
"Dek, kamu dari Pati ya?," katanya membuka pembicaraan.
"Ya, saya dari Winong, Pati. Dulu saya mondok di Kajen. Lho Kakak kok tahu, tahu dari mana?," tanyaku penasaran.
"Saya tahu dari co card yang kamu kenakan. Saya juga alumni Kajen. Nama saya Munib. Tapi saya asli Malang. Nama kamu siapa?," dia menanyakan namaku dan aku baru ingat bahwa di leherku tergantung co card yang memuat identitasku.
"Nama saya Anis sebagaimana yang Kakak lihat di co card ini. Oh ya, saya senang sekali bertemu dengan orang yang sama-sama pernah merasakan nikmatnya menuntut ilmu di kota Santri itu." Aku mengingat-ingat kembali memori kehidupanku di sana yang tidak akan pernah kulupakan.
Perbincangan kami terus mengalir hingga aku tahu banyak hal tentang dia. Dia adalah santri Pondok Pesantren Maslakul Huda. Sebuah pesantren yang sangat populer di kalangan santri Kajen itu. Bahkan mungkin tak sedikit masyarakat Indonesia yang mengenalnya. Maklum pengasuhnya adalah tokoh NU tingkat nasional, yaitu KH. Sahal Mahfudz. Seorang Kyai yang mendapatkan gelar Doktor Honoris karena karyanya yang berjudul Fiqh Sosial. Buku fenomenal itu di kalangan mahasiswa IAIN juga tidak asing.
Rata-rata kualitas intelektual santri pesantren tersebut tidak diragukan lagi. Dengan demikian bisa kuprediksikan bahwa Kak Munib merupakan orang sangat pintar di bidang ilmu agama. Apalagi selain belajar di pesantren, dia juga menyetorkan hafalan al Qur'annya kepada KH. Nafi' Abdillah, pengasuh Pondok al Qur'an terbesar di Kajen. "The great santri," bisikku dalam hati. Berbeda denganku yang hanya santri biasa yang beruntung mendapatkan beasiswa penuh dari Depag sehingga bisa merasakan bangku kuliah di IAIN ini.
Pertemuan dengan Kakak semester 5 berpenampilan ok berpostur tinggi itu berakhir ketika teman di sampingku mengajakku pulang. Kuakhiri pertemuan itu dengan salam.

#######

Pagi hari di minggu pertama bulan Desember 2007. Sejak memiliki notebook, aku sering ngenet di kampus. Selain mencari data yang berkaitan dengan perkuliahan, tak jarang aku membuka e-mailku. Fasilitas hotspot area harus kumanfaatkan dengan baik.
Mataku tercengang, hatiku berdebar, pikiranku tak percaya, tubuhku gemetar ketika membaca sebuah surat yang dikirim ke alamat e-mailku oleh orang yang tak asing lagi bagiku. Seorang yang kuanggap sebagai kakakku sendiri karena hanya dia satu-satunya alumni Kajen yang ada di kampus ini. Bukan karena pengirimnya yang membuatku kaget, tapi isi suratnya itu yang membuat diriku seakan berada di dunia mimpi.
"Anis, aku mencintaimu dan aku ingin menjadi kekasihmu………"
Sederet kalimat itu merupakan inti dari surat yang dikirim oleh Kak Munib pada jam 23.10 WIB sehari sebelum aku membuka e-mailku. Tak lama kemudian aku pulang ke pesantren tempat tinggalku yang letaknya tak jauh dari gedung Fakultas Syari'ah.


Bulan telah menampakkan sinarnya. Bintang pun tak redup meski harus bersaing dengan jutaan watt lampu yang ada di dunia ini. Angin malam terasa dingin menusuk jiwa. Hampir seluruh mahasantri yang ada di pesantren ini telah nyenyak dalam tidurnya. Mereka tengah asyik dengan mimpi-mimpi indah mereka. Mungkin hanya segelintir orang yang belum memejamkan mata. Termasuk di antaranya adalah aku.
Aku sedang memikirkan surat dari Kak Munib itu. Aku tak tahu harus berbuat apa dan bersikap bagaimana. Di tengah kebingunganmu itu, aku teringat dengan ucapan Nailin, teman karibku yang menjadi tempat curhatku untuk masalah ini.
"Sebaiknya kamu bertemu dengan Kak Munib dan membicarakan permasalahan itu face to face supaya semuanya menjadi clear." Begitu solusi yang ditawarkan oleh Nailin tadi siang yang menurutku tak ada salahnya jika aku mencobanya.
Beberapa saat kemudian kuambil handphoneku. Kuketik beberapa kata dan kukirim ke nomor Hpnya. Aku ingin bertemu dengannya besok. Moga ini solusi yang terbaik.
"Allahumma yassir lana umurana, umurad dunya wal akhirah………" Dengan membaca Basmalah dan mengharap ridha Allah, aku mulai memejamkan mata.

#######

"Assalamu'alaikum…." Itulah kalimat pertama yang diucapkan oleh Kak Munib ketika melihatku dan Nailin di taman kampus yang lebih dulu dating daripada dia. Aku mengajak Nailin dalam pertemuan ini supaya tidak terjadi fitnah. Bukankah apabila ada dua orang berlainan jenis berkhalwat, maka pihak ketiganya adalah syaitan.
"Wa'alaikumsalam…." Aku dan Nailin menjawab salamnya hampir berbarengan.
"Bagaimana kabar kalian? Mudah-mudahan selalu mendapat petunjuk-Nya," dia berbasa basi dengan menanyakan kabar.
"Alhamdulillah, aku dan Nailin dalam keadaan sehat sebagaimana yang kamu lihat saat ini. Kak, saya ingin membicarakan surat kamu kemarin lusa." Aku berusaha bicara sedatar dan setenang mungkin. Padahal jantung ini terasa berdegup kencang.
"Oh ya, silakan. Saya akan menerima apapun keputusanmu"
"Kak, sebelumnya bolehkah saya bertanya sesuatu?," suaraku terdengar makin kecil dan mataku sama sekali tak berani memandang wajahnya. Aku tak tahu kenapa ini bisa terjadi. Padahal biasanya aku berani menatap matanya. Tapi kali ini tidak.
"Bertanya apa, Anis?," dia bertanya penuh penasaran.
"Sebenarnya hal apa yang menyebabkan kamu mencintaiku? Tolong jawab dengan jujur karena ini akan menentukan perasaanku kepadamu."
"Cinta yang beralasan tak akan bertahan lama. Cinta karena kecantikan akan pudar seiring pudarnya kecantikan itu. Cinta karena harta akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya harta itu. Begitu juga dengan cinta yang berpijak pada alasan-alasan yang lainnya. Saya mencintaimu bukan karena suatu alasan apapun. Dengan demikian saya berharap cinta yang saya rasakan ini bisa bertahan sampai kapanpun." Sebuah jawaban yang sarat akan makna. Itulah jawaban yang aku tunggu untuk mengetahui alasan dia mencintaiku. Aku ingin menangis mendengar jawabannya seperti itu.
"Sekarang giliran saya yang bertanya. Apakah kamu juga memiliki perasaan yang sama denganku? Apakah kamu bersedia menjadi kekasihku?," dia bertanya serius.
"Sebenarnya hati ini sulit memungkiri bahwa saya juga menaruh simpati kepadamu. Tapi maaf saya tidak bisa menjadi kekasih atau pacarmu. Saya tidak mau menjalin hubungan cinta dengan siapapun sebelum adanya ikatan yang suci. Saya mengharapkan cinta yang dibangun di atas pondasi yang berlabelkan halal. Supaya saya bisa mencintai dengan sepenuh jiwa dan raga.. Jujur saya tak ingin seperti kebanyakan orang yang menjadikan pacaran sebagai ajang untuk bersenang-senang belaka," aku berkata dengan penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaannya.
Aku segera mengakhiri pertemuan itu karena sebentar lagi ada jam kuliah. Kesimpulan dari perbincangan kami yang panjang lebar itu adalah kami sepakat untuk tidak menjalin hubuingan yang disebut dengan pacaran. Kami harus menunda perasaan cinta ini. Entah sampai kapan, kami belum tahu. Kami saling mendoakan semoga Allah menciptakan yang terbaik untuk kami. Meskipun tidak pacaran, kami tetap berteman. Kami harus melupakan peristiwa itu agar tidak mengganggu konsentrasi kuliah kami.

#######

Empat tahun sudah peristiwa itu berlalu. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menahan rasa cinta. Dalam jangka waktu selama itu aku harus berusaha semaksimal mungkin supaya cintaku terjaga dengan baik. Dan inilah hari kemenangan. Hari di mana sebuah prosesi sakral akan dilangsungkan. Sebuah ikatan yang suci akan kujalin dengannya. Ya, hari ini aku akan menikah dengannya. Orang yang aku selalu berharap bisa mencintainya hanya karena Allah. Supaya cinta ini tidak membutakan hati kami. Aku berjanji akan menaati seluruh perintahnya sepanjang tidak melanggar syara'. Aku akan berusaha menjadi a good wife and a good mother.
"The most important…… I wanna love you cz of Him," kalimat utama yang kubisikkan ke telinganya sesaat setelah akad nikah berlangsung.
"So do I, semoga cinta yang kita rasakan ini semata karena Allah," jawabnya sambil menggenggam tanganku erat.

Read More......

Peran Strategis Politik Kiai di Hari Pahlawan

Diposting oleh alaikbuletin on 04.35

Peran Strategis Politik Kiai di Hari Pahlawan
Oleh: Miftahul khoir
Tanggal 10 November merupakan salah satu dari hari bersejarah yang sangat penting dalam perjalanan bangsa Indonesia sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Peringatan Hari Pahlawan merupakan kesempatan bagi seluruh komponen bangsa, bukan saja untuk mengenang jasa-jasa dan pengorbanan para pejuang yang tak terhitung jumlahnya demi memperjuangkan tegaknya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 tetapi juga merupakan kesempatan yang baik untuk selalu memupuk rasa kesadaran berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, kita akan ingat kembali bahwa Republik Indonesia yang sekarang ini adalah hasil perjuangan dalam jangka waktu yang lama dari banyak orang yang terdiri dari berbagai suku, agama, keturunan ras, dan berbagai macam pandangan politik. Dengan merenungkan, secara mendalam, berbagai tahap perjuangan bangsa itu, maka akan makin jelaslah kiranya bagi kita semua, bahwa Republik Indonesia ini adalah benar-benar milik kita bersama bukan milik perorangan ataupun golongan tertentu.

Bila kita membuka kembali lembaran sejarah bangsa Indonesia, maka kita akan menemukan bukti-bukti bahwa para Kiai memiliki peran penting dalam mengawal dan mempertahankan eksistensi Negara ini. Perjuangan para pahlawan pada 10 november 1945 yang terpusat di Surabaya tidak dapat dipisahkan dari peranan para Kiai dan santri. Hal tersebut dicatat oleh M.C. Ricklefs (1991) bahwa ribuan kiai dan santri di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945, dipimpin oleh Rois Akbar NU Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ary mendeklarasikan suatu resolusi yang kemudian populer dengan sebutan “resolusi jihad” yang isinya antara lain mempertahankan Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945.
Karena resolusi jihad itu merupakan fatwa tentang kewajiban perang melawan kaum imprealis, maka seluruh masyarakat Islam yang jumlahnya mayoritas sangat setia terhadap fatwa tersebut dan membentuk laskar perang. Para sejarawan baik nasional maupun lokal mengakui pengaruh resolusi jihad sangat besar dalam melakukan perlawanan terhadap kaum imprealis.
Dua minggu setelah dikumandangkan resolusi jihad, tepatnya 10 November 1945, meletuslah perang antara pasukan Inggris dengan pribumi selama tiga minggu. Para sejarawan menganggap peristiwa ini sebagai perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara apalagi dalam peperangan ini para pejuang Indonesia berhasil mengalahkan Inggris yang notabene sebagai pemenang Perang Dunia II. Peristiwa inilah yang kemudian di abadikan oleh masyarakat Indonesia sebagai Hari Pahlawan.
Bagi warga pesantren dan warga NU pada umumnya, peringatan Resolusi Jihad yang diadakan setiap tahun adalah upaya kongkrit untuk menegaskan kembali posisinya sebagai warga yang harus tetap perduli terhadap nasib bangsanya dan harus terus berikhtiar bekerja yang terbaik dalam mengawal bangsa ini.
Dari fakta sejarah tersebut jelaslah bahwa para Kiai memiliki peranan strategis dalam perpolitikan di Indonesia khususnya di jawa timur. Namun hal itu dilakukan semata-mata untuk mempertahankan eksistensi Negara Indonesia karena konsep yang dipegang teguh adalah “cinta tanah air merupakan sebagian dari iman”. Perjuangan para kiai tersebut sama sekali bukan didasari oleh masalah keduniaan melainkan dorongan agama.
Dalam konteks jawa timur saat ini, ternyata para kiai tampil kembali dalam dunia politik. Hal ini ditunjukkan dengan mendukung salah satu calon gubernur Jatim. Kurang lebih 500 Kiai memberikan tausyiah untuk mendukung Cagub no. 5, sementara sebagian Kiai yang lain juga memberikan dukungan pada Cagub no. 1 walaupun tidak secara ekslisit. Terlepas dari segala motifasi yang mendasarinya, para kiai seharusnya tetap bersikap arif dan mengayomi ummat. Perjuangan dan jihad yang harus selalu dilakukan adalah mengawal kebijakan pemerintah untuk memperbaiki nasib masyarakat miskin, pemberantasan korupsi, dan keharusan menjaga eksistensi NKRI.
Sementara itu perjuangan dan jihad yang harus dilakukan oleh masyarakat sendiri adalah upaya merubah nasibnya dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Sebagian bentuk jihad tersebut harus mewarnai paradigma jihad masyarakat yang selama ini dipahami secara sempit. Jihad harus diarahkan pada perjuangan mempertahankan eksistensi diri sebagai umat dan sebagai bangsa.
Berjihad untuk memperbaiki nasib masyarakat Indonesia dan kondisi kehidupan kebangsaan bukan hanya untuk membangun bangsa dan upaya mensejahterahkan masyarakat. Lebih dari itu ikhtiar tersebut sebagai upaya mengangkat harkat dan martabat bangsa di dunia internasional. Bangsa ini harus diselamatkan dari segala predikat yang buruk, seperti, negara terkorup, miskin, instabilitas, teroris dan segudang predikat lainnya yang memarginalkan posisi Indonesia di dunia internasional. Hal itu bisa terwujud bila seluruh komponen bangsa memiliki I’tikad baik dan berusaha untuk melakukan jihad dan perjuangan menuju kehidupan yang lebih baik dimasa depan.

Read More......